Seni Menerima Kehilangan

Seni menerima kehilangan tak sulit untuk dikuasai; Begitu banyak hal memiliki kemungkinan akan hilang,maka hilangnya bukanlah bencana.

Kehilangan sesuatu setiap hari. Terimalah rasa bingung ketika kehilangan kunci rumah, waktu yang terbuang percuma.
Seni menerima kehilangan tidak sulit untuk dikuasai.

Maka, latihlah kehilangan yang lebih banyak lagi, dan yang datang lebih cepat: tempat, dan nama, lalu tujuan kepergianmu. Tidak satu pun membawa bencana.

Aku kehilangan jam tangan ibuku. Lalu coba lihat! Yang terakhir bagiku, atau sebelum terakhir, dari tiga rumah kucintai menghilang.
Seni menerima kehilangan tidak sulit dikuasai.

Aku kehilangan dua kota, dan lebih luas lagi, beberapa area milikku, dua sungai, sebuah benua.
Aku kehilangan mereka, tetapi itu bukan bencana.

_Bahkan kehilangan dirimu sendiri [suara kelakarmu, isyaratmu yang kucinta] aku tidak akan berbohong. Memang seni menerima kehilangan tidak terlalu sulit dikuasai walau mungkin itu tampak seperti [Tulislah!] seperti bencana.

“Satu Seni” dari The Complete Poems 1927-1979, karya Elizabeth Bishop.

(taken from “The Girl’s Guide to Hunting and Fishing:a novel” written by Melissa Bank.)

Ada benernya,kan?! Seni menerima kehilangan tidak begitu sulit untuk dikuasai. Ketika qta menyadari, toh semuanya mungkin hilang begitu aja walau tanpa qta kehendaki. Merutuk keadaan pun tidak akan merubah kehilangan itu sendiri. Akan lebih baik jika kita merelakan kehilangan tersebut dan mengusahakan yang terbaik, merekondisi keadaan setelah “kehilangan” itu… kurang lebih sama dengan jika nasi sudah menjadi bubur, taburkan daging cincang, kacang kedelai goreng, bumbu kuning, merica, dan daun bawang+seledri (sambil mengingat2 kembali komposisi dalam bubur ayam)….